automated backlinks

Rabu, 13 Juni 2012

ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT – DAERAH DAN PINJAMAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG UTARA TAHUN 2010

I.                   PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang Masalah.
Salah satu asas pembangunan daerah adalah desentralisasi, menurut Ketentuan Umum UU No. 32 Th. 2004 tentang Pemerintah Daerah, Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada  daerah  otonom untuk  mengatur  dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem   Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk memberi pelayanan, peningkatan peran, serta prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat..  Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Prinsip otonomi nyata adalah  suatu  prinsip  bahwa  untuk  menangani  urusan  pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kakhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian   otonomi,   yang   pada   dasarnya   untuk   memberdayakan   daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (Penjelasan UU No. 32 Th. 2004 Tentang Pemerintahan Daerah: 167).
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara propinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 169).
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat.  Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan: Pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan yang penting, dan adanya campur tangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap Pemerintah daerah.
Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin  besar.  Ketergantungan terlihat dari   relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat.
Adalah ironis, Kendati pelaksanaan otonomi menitik beratkan pada kabupaten/kota sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi (Mudrajad Kuncoro, 2004: 18).
Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Mudrajad Kuncoro, 2004: 13), yaitu:
1.      Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
2.      Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.
3.      Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.
4.      Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan Separatisme.
Oleh  karena  itu,  alternatif  solusi  yang  ditawarkan  adalah  (Mudrajad Kuncoro, 2004: 15):
1.   Meningkatkan peran BUMD.
2.   Meningkatkan penerimaan daerah.
3.   Meningkatkan pinjaman daerah.
Dari alternatif-alternatif tersebut, pinjaman daerah merupakan sumber penerimaan yang mempunyai karakteristik berbeda, namun penggunaan pinjaman sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan fiskal   dapat dipertanggungjawabkan sepanjang memenuhi berbagai persyaratan seperti adanya kemampuan membayar kembali serta pemanfaatan yang berguna bagi pelayanan  masyarakat  atau  pembangunan  daerah.  
Dalam  penjelasan  umum yang tertuang dalam peraturan pemerintah nomor 107 tahun 2000, ditegaskan bahwa: dalam rangka peningkatan kemampuan keuangan daerah, pemerintah pusat memberikan peluang kepada daerah untuk melakukan pinjaman. Namun demikian, pinjaman daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, harus dicatat dan dikelola dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) (Yook Tri Handoko, 2003: 3).
Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan pemerintah pusat dan daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat.
Pemerintah Daerah selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD). Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer dari pusat yaitu Dana Alokasi Umum  dan  hanya  sebagian  kecil  dari  PAD,  potensi  pembiayaan  lain  yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Rokhedi P. Santoso, 2003: 148).
Pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan memiliki keuntungan,  antara  lain  dapat  mengatasi  keterbatasan  kemampuan  riil  atau nyata pada saat ini dari suatu daerah yang sebenarnya potensial dan memiliki kapasitas fiskal yang memadai.
Dengan pinjaman dapat mendorong percepatan proses pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah-daerah.yang dimaksud.  Jenis  pinjaman  ini  merupakan  pinjaman  jangka  panjang.  Pinjaman  jangka menengah dipergunakan untuk mem-biayai layanan masyarakat yang tidak menghasilkan penerimaan. Sedang pinjaman jangka pendek digunakan untuk membiayai belanja administrasi umum serta belanja operasional dan pemeliharaan.   
Untuk mengurangi  ketergantungan   daerah   kapada   pusat, pinjaman jangka panjang dianggap lebih efektif daripada pinjaman jangka pendek (Rokhedi P. Santoso, 2003: 148).
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dalam rangka penyusunan skripsi dipilih judul Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dan Pinjaman Daerah di  Kabupaten  Lampung Utara Tahun 2010
1.2.      Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah diatas, dikemukakan identifikasi masalah sebagai berikut:
1.      Rendahnya Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Utara
2.      Tingginya Ketergantungan Kabupaten Lampung Utara terhadap Pemerintah Pusat.
3.      Rendahnya Pendapatan yang diperoleh dari Badan Usaha Milik Daerah.
1.3.      Permasalahan
Dari uraian identifikasi masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut : “Seberapa   besar   Derajat   Desentralisasi   Fiskal   Keuangan Daerah serta Bagaimana Kapasitas Pinjaman Daerah Kabupaten Lampung Utara yang dihitung dengan Jumlah Sisa Pokok Pinjaman dan Debt Service Coverage Ratio (DSCR)?
1.4.      Tujuan Penelitian.
1.      Untuk menganalisis Derajat Desentralisasi Fiskal Keuangan Daerah sehingga bisa diketahui rasio penerimaan daerah yang paling menonjol terhadap Total Penerimaan Daerah.
2.      Untuk mengukur kapasitas Pinjaman Daerah sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat.
3.      Sebagai salah satu syarat untuk mencapai jenjang strata satu (S1) pada Jurusan Ekonomi Pembangunan di STIE Ratula Kotabumi
4.      Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan pemerintah daerah dan lembaga-lambaga terkait di Kabupaten Lampung Utara.
1.5.      Kerangka Pemikiran
Dari uraian-uraian diatas maka terbentuklah suatu kerangka pemikiran yang dapat penulis gambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Pemikiran





1.6.      Metode Penelitian
Bardasarkan   pada   tujuan   penelitian   maka   bentuk   penelitian   yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu memusatkan pada suatu kasus tertentu secara intensif, dalam hal ini adalah analisis keuangan daerah dan perhitungan kemampuan kabupaten dalam melakukan pinjaman daerah.
Jenis dan Metode Pengumpulan Data.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif. Yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Utara berupa laporan tahunan yang bersangkutan.
Data yang dipergunakan Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Bantuan, Sumbangan Subsidi, Dana Alokasi Umum, Belanja Wajib atau Belanja Rutin, Pinjaman dan Bunga yang Jatuh Tempo dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan lain- lain.
Batasan Variabel.
Supaya  tidak terjadi salah penafsiran terhadap suatu variabel maka dalam penelitian ini dibuat batasan-batasan variabel yang digunakan sebagai berikut:
1.      Derajat desentralisasi fiskal adalah membandingkan antara nilai pendapatan asli daerah (PAD), yang meliputi hasil pajak daerah, hasil retribusi  daerah,  hasil  pengelolaan  kekayaan  daerah  seperti  laba Badan Usaha Milik Daerah, penerimaan dari dinas-dinas, dan penerimaan lain-lain yang sah seperti jasa giro, hasil penjualan aset daerah), bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP, bagi hasil pajak misalnya Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan, Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan, sedang bagi hasil bukan pajak seperti penerimaan kehutanan, penerimaan pertambangan, penerimaan perikanan, penerimaan pertambangan minyak) dan sumbangan (SB, yang meliputi Sumbangan dan Bantuan (sebelum otonomi daerah) dan Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (sesudah otonomi daerah)) terhadap total penerimaan daerah (TPD, Total   Penerimaan   Daerah   meliputi   Sisa   Lebih   Tahun   Lalu, Pendapatan Asli Daerah, Bagian Dana Perimbangan yang meliputi bagi  Hasil  Pajak  dan  Bukan  Pajak,  Dana  Alokasi  Umum,  dana Alokasi Khusus, dan Bagian Penerimaan Pembangunan yang meliputi penerimaan dari pemerintah pusat, pinjaman pemerintah daerah, pinjaman untuk BUMD.
2.      Pinjaman Daerah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dihitung dengan menggunakan rumus pinjaman daerah jangka panjang, karena pinjaman jangka pendek hanya untuk menutup kekurangan arus kas sedangkan pinjaman jangka menengah dipergunakan  untuk  membiayai  penyediaan  pelayaan  umum  yang tidak menghasilkan penerimaan.
3.      Besarnya  jumlah  Sisa  Pokok  Pinjaman  dihitung  dengan menjumlahkan sisa Pinjaman Daerah dengan jumlah pinjaman yang akan  ditarik  tidak  melebihi  75%  dari  jumlah  penerimaan  umum APBD tahun sebelumnya. Penerimaan APBD sebelumya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (sebelum tahun 2001 atau sebelum berlakunya otonomi daerah, Dana Alokasi Khusus menggunakan nama Bantuan), Dana Darurat, dana pinjaman  lama,  dan  penerimaan  lain  yang  kegunaannya  dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.
4.      Besarnya  pinjaman  daerah  jangka  panjang  yang  dihitung  dengan rumus Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dihitung dengan menjumlahkan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum (sebelum tahun 2001 atau sebelum berlakunya otonomi daerah , Dana Alokasi Umum menggunakan nama Sumbangan), dan Bagian Daerah dikurangi Belanja Wajib dibagi Angsuran Pokok Pinjaman, Bunga Pinjaman, dan Biaya Lain, dimana jumlahnya lebih besar dari 2,5.
1.7.      Alat Analisis
Alat analisis dalam penelitian ini menggunakan alat analisa deskriptif. Analisa  deskriptif  dimaksudkan  untuk  memberi  gambaran  perkembangan Derajat  Desentralisasi  Fiskal  dan  perkembangan  realisasi  Pinjaman  Daerah yang sudah dilakukan, dengan menggunakan alat analisis sebagai berikut:
1.      Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal.

Metode analisis ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara keuangan pusat-daerah dan kemandirian pembiayaan keuangan daerah, dalam hal ini desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Analisis ini menggunakan metode rasio, yaitu membandingkan antara nilai :
a)          PAD
    TPD

Keterangan:    PAD       :  Pendapatan Asli Daerah.

TPD        :  Total Penerimaan Dearah.

b)       BHPBP
    TPD

Keterangan:    BHPBP :  Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

TPD        :  Total Penerimaan Dearah.

c)          SB
   TPD

Keterangan:    SB          :  Sumbangan dan Bantuan.

TPD        :  Total Penerimaan Dearah
(Tri Nurmani Ariyanti, 2002, 10)
Berdasarkan rasio ketiga komponen tersebut dalam struktur penerimaan APBD akan diketahui derajat desentralisasi fiskal daerah; (Tri Nurmani Ariyanti, 2002: 10);
·         Derajat desentralisasi fiskal rendah bila kontribusi pos sumbangan dan bantuan terhadap total penerimaan daerah lebih besar dari kontribusi pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan daerah yang berarti keuangan daerah masih tergantung pada pemerintah pusat.
·         Derajat desentralisasi fiskal tinggi jika kontribusi pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan daerah lebih besar dari kontribusi bantuan dan sumbangan terhadap total penerimaan daerah yang berarti keuangan daerah dikatakan mandiri
2.      Jumlah Pinjaman Jangka Panjang Daerah yang dapat diperoleh.
a.      Jumlah Sisa Pokok Pinjaman.
Dalam UU no. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat Dan Pemerintah Daerah, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh daerah dalam melakukan pinjaman daerah adalah dengan Jumlah  Sisa  Pokok  Pinjaman.  Yaitu  Jumlah  Sisa  Pokok  Pinjaman ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya, atau:
SPP + Pt < 75%.TPn-1

Keterangan:

SPP     : Jumlah Sisa Pokok Pinjaman.

Pt         : Jumlah Pinjaman yang akan ditarik.

TPn-1  : Jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya.

Penerimaan Umum   yaitu seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus (sebelum tahun 2001 atau sebelum berlakunya otonomi daerah, Dana Alokasi Khusus menggunakan nama Bantuan), Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.
Suatu daerah jika jumlah sisa pokok pinjamannya ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (<75%) dari jumlah  penerimaan  umum  APBD  tahun  sebelumnya  maka  daerah tersebut boleh melakukan pinjaman daerah jangka panjang, sebaliknya jika  jumlah  sisa  pokok  pinjamannya  ditambah  jumlah  pinjaman  yang akan ditarik melebihi 75% (>75%) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya maka daerah tersebut tidak boleh melakukan pinjaman daerah jangka panjang.
b.      Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Besarnya pinjaman jangka panjang yang dapat diperoleh kabupaten dapat dicari dengan rumus (Penjelasan UU No. 33 tahun 2004 pasal 54 Huruf b):    
(PAD + DAU + (DBH DBHDR)  BW
DCSR =                                                                                        ≥ 2,5
P + B + BL


Keterangan:
DSCR    :  Debt Service Coverage Ratio atau Rasio  Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman.
PAD       :  Pendapatan Asli Daerah.
DAU      :  Dana Alokasi Umum.
DBH      :  Dana Bagi Hasil.
DBHDR :  Dana Bagi Hasil dana Reboisasi.
BW        :  Belanja Wajib, yaitu belanja yang harus dipenuhi atau tidak bisa  dihindarkan  dalam  tahun  anggaran  yang  bersangkutan oleh Pemerintah Daerah seperti Belanja Pegawai.
P             :  Angsuran  pokok  pinjaman  yang  jatuh  tempo  pada  tahun anggaran yang bersangkutan.
B            :  Bunga Pinjaman yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan.
BL          :  Biaya Lain (biaya komitmen, biaya bank, dam lain-lain) yang jatuh tempo.
Secara Umum DSCR merupakan jumlah penerimaan yang tersedia untuk membayar pinjaman dibandingkan dengan jumlah pembayaran pinjaman yang diwajibkan untuk suatu pinjaman. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 107 tahun 2000
Tentang Pinjaman Daerah mengenai Persyaratan Pinjaman Daerah, nilai dari DSCR paling sedikit 2,5 (dua setengah), jadi bila nilai DSCR suatu daerah  lebih  besar  atau  sama  dengan  2,5  ( 2,5 )  maka  daerah  boleh melakukan pinjaman daerah jangka panjang, sebaliknya jika nilai DSCR suatu  daerah  lebih  kecil  dari  2,5  ( 2,5 )  maka  daerah  tidak  boleh melakukan pinjaman daerah jangka panjang.
1.8.      Sistematika penulisan.
Skripsi ini dibagi menjadi 5 bab dengan urutan penulisan sebagai berikut:
BAB I.  PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang, identifikasi masalah, permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian, alat analisis dan sistematika penulisan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab  ini  berisi  empat  bagian;  pertama  tentang  landasan  teori  yang berisikan teori Otonomi Daerah, kedua berisi Perimbangan Keuangan Daerah dan Pusat, ketiga berisi tentang Desentralisasi Fiskal Daerah, Keempat berisi tentang Pinjaman Daerah.
BAB III.  GAMBARAN UMUM
Bab ini merupakan uraian atau gambaran atau deskripsi secara umum tentang Kabupaten Lampung Utara.
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian dan hasil analisa dan pengolahan data.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi dua bagian; pertama merupakan kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis; kedua merupakan saran  sebagai jawaban dari rumusan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN




 

DAFTAR PUSTAKA




Bratakusumah   dan   Solihin   (2002),   Otonomi   Penyelenggaraan   Pemerintah Daerah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.



Elmi, Bachrul (2002),  Keuangan Pemerintah Daerah Otonomi di Indonesia, UI- Pres, Yogyakarta.



Kuncoro,  Mudrajad  (2004),  Otonomi  &  Pembangunan  DaerahErlangga, Jakarta.



Suparmoko   (2002),   Ekonomi   Publik   Untuk   Keuangan   dan   Pembangunan Daerah, ANDI, Yogyakarta.



UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah beserta Penjelasannya, Citra Umbara, Bandung.



Ariyanti,  Tri  Nurmani  (2002), Analisis  Kesiapan  Keuangan  Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah di Kabupaten Klaten Tahun 1989/1990-1999-2000, Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.



Handoko, Yook Tri (2003), Kemampuan Potensi Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam  Melakukan  Pinjaman  Sebagai  Alternatif  Pembiayaan Pembangunan Fakultas Ekonomi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Yogyakarta.


Santoso, Rokhedi P. (2003) Analisis Pinjaman Sebagai Potensi Pembiayaan Pembangunan Daerah: Studi Kasus Daerah Istimewa Yogyakarta”, Jurnal Ekonomi PembangunanVolume VIII, No. 2, 147-158.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar